Pendidikan Yang Memerdekakan
Kecewa membuka SAS
online yang sedang offline, saya pun teringat ketika saya sedang duduk-duduk di
pojok gedung sekolah. Lamat-lamat terdengar suara ibu guru yang sedang mengajar
kelas 1 SD. Menyenangkan sebenarnya mengajar anak-anak kecil yang lucu-lucu, membuat
teringat pada anak sendiri.
Kemudian terdengar
sang ibu guru bertanya: “Orang yang senang membantu orang yang terkena bencana
disebut?” Ah entah pelajaran apa ini. Tapi yang membuat saya berpikir lebih
keras adalah ketika salah seorang anak
menjawab pertanyaan itu dan ia dimarahi
karena jawabannya dianggap salah. Jika Anda ditanya pertanyaan seperti itu,
apakah jawaban Anda? Anda tahu jawaban apa yang dilontarkan anak tersebut dan
dinilai salah oleh sang guru? Anak itu menjawab: “Orang baik.” Jawaban yang
diminta oleh sang ibu guru adalah: “Dermawan.”
Memang benar bahwa
pengetahuan tidak ditanamkan oleh Tuhan dalam akal budi mereka. Memang benar
bahwa pengetahuan mereka dibentuk oleh orang dan lingkungan di sekitar mereka.
Namun, salahkah mereka jika mereka menbentuk pengetahuan mereka sendiri?
Tugas seorang
pendidik adalah memberikan rangsangan yang diperlukan agar anak mampu membentuk
pengetahuan mereka sendiri, yang kadang berbeda dengan si pendidik. Bukankah
sejarah sudah membuktikan bahwa mereka yang mampu menjadi berbeda dan membentuk
pengetahuannya sendiri ternyata justru menjadi orang-orang besar dalam sejarah
hidup manusia? Namun para pendidik sering lupa tugasnya dan berusaha memasukan
jawaban dan pengetahuan mereka ke dalam mulut dan pikiran murid-muridnya.
Jika seorang anak
dibiasakan didikte dan dipilihkan jawaban oleh siapapun yang memiliki peran
mendidik, maka anak tidak akan pernah bisa berkembang dengan baik. Apakah yang
salah dengan perbedaan? Tidak ada! Justru dengan menjadi berbeda maka anak
belajar membandingkan dirinya dengan orang lain, pengetahuannya dengan orang
lain, jawabannya dengan orang lain. Seandainya semua anak bisa berkembang
dengan bimbingan yang baik, mereka akan menjadi merdeka dan bebas mengembangkan
wawasannya, untuk kemudian menjadi ‘orang’!
Meminjam istilah
Freire, hubungan antara guru dan murid harus menjadi subjek-subjek. Bukan
subjek-objek. Konsep ini menjadikan guru bukan hanya sebgai fasilitator tapi
sebagai perangsang munculnya pengetahuan. Guru, dalam pandangan Freire, tidak
hanya menjadi tenaga pengajar yang memberi instruksi kepada anak didik, tetapi
mereka harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers).
Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai
aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan
hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai
medium untuk mereproduksi status quo. Sehingga murid-murid kita benar-benar menjadi
orang yang berpengetahuan yang merdeka!
0 komentar: