A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar
Konstruktivisme
Teori BelajarKONSTRUKTIVISMESalah satu teori atau pandangan
yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah
teori perkembangan mental Piaget. Teori belajar tersebut berkenaan dengan
kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual
dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud
dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa
jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Berikut adalah tiga dalil
pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap
perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi
(1988: 133) mengemukakan; perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap
beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia
akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, tahap-tahap
tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan gerak melalui tahap-tahap
tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif
yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget,
konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar
bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Dalam
penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky
adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada
lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: tujuan pendidikan
menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak
yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang
dihadapi, kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik.
Hakikat Pembelajaran
Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30)
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru
yang diterima.
Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif,
tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua pengertian di atas
menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses
pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru,
pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses
belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu
diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3)
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, strategi siswa lebih
bernilai, dan siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar
pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar
konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: memberi kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, memberi kesempatan kepada
siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan
imajinatif, memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih
menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan
kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan
oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi
sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
0 komentar: