IQ, EQ dan SQ: Dari Kecerdasan Tunggal ke Kecerdasan Majemuk
Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah
SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus
menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin
kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
IQ, EQ dan SQ; dari Kecerdasan Tunggal ke Kecerdasan Majemuk
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan
kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Berdasarkan temuan dalam
bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang
lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian
kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi
baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975)
mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu
: (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan
(3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada
umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas
kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut
Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan
oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone
(1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini,
menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk
Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat
kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age),
merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius
(Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Adalah Daniel Goleman (1999), salah
seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap
sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang,
yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan
Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk
pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung
bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk
dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan
untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia
kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk
Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang
masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk
individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang
menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat
dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual
maupun kecerdasan emosionalnya. Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan
Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun
1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997
menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in
merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan
syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer
menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada
usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu
jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk
hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia
yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut
Spiritual Quotient (SQ)
Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari
oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2)
nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan
menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu
kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh
persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung
jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Di Indonesia, penulis mencatat
ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar
atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung
dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak
bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional
Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan
semakin lebih luas. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan
bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes
menggunakan pensil dan kertas”. Dalam buku tersebut secara meyakinkan
menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia,
yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence)
(Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu
menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi
dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin
transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi
lainnya yang super canggih. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan
terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana
Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Bahkan,
tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia
yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku
manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa
teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu
sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional
dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan
kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan tidak bermaksud
mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil
pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik
masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat
menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi
cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan
dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan
yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri
sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah
berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap
potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses
pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful
Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ),
sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.
0 komentar: